Ujian Nasional Dihapus, Lalu Apa yang Masih Kita Takuti dari Sekolah?

Perubahan besar dalam dunia pendidikan Indonesia terjadi ketika pemerintah memutuskan untuk menghapus Ujian Nasional (UN). daftar neymar88 Kebijakan ini membawa harapan baru bagi banyak siswa dan orang tua, yang selama ini melihat UN sebagai momok menakutkan setiap tahunnya. Namun, dengan hilangnya Ujian Nasional, pertanyaan yang muncul adalah: apakah ketakutan terhadap sekolah dan sistem pendidikannya benar-benar hilang? Atau justru ada hal-hal lain yang masih membuat siswa dan orang tua merasa cemas?

Ujian Nasional: Momok yang Menghantui Selama Ini

Selama bertahun-tahun, Ujian Nasional dianggap sebagai tolok ukur utama keberhasilan belajar siswa. Banyak yang memandang UN sebagai “penentu nasib” yang harus dilalui dengan ketegangan tinggi. Tekanan yang dirasakan siswa untuk lolos atau mendapatkan nilai tinggi bisa menyebabkan stres berat, hingga berdampak pada kesehatan mental.

Namun, UN bukan satu-satunya hal yang membentuk pengalaman belajar di sekolah. Bahkan sebelum ada UN, banyak siswa juga merasa takut dengan tugas-tugas besar, presentasi, dan ujian harian yang tidak kalah menegangkan. Oleh karena itu, meskipun Ujian Nasional sudah dihapus, ketakutan terhadap sekolah tidak serta merta hilang.

Sistem Pendidikan dan Budaya Sekolah yang Masih Membebani

Salah satu alasan utama masih adanya ketakutan terhadap sekolah adalah sistem pendidikan itu sendiri. Sekolah kadang masih berfokus pada penilaian nilai angka dan ranking kelas. Guru dan sekolah sering menuntut hasil cepat dan angka yang tinggi, sehingga siswa merasa terjebak dalam kompetisi tanpa akhir.

Selain itu, budaya belajar yang menekankan hafalan dan kecepatan menjawab soal juga tetap ada. Hal ini membuat proses belajar menjadi beban yang berat bagi siswa yang membutuhkan waktu lebih untuk memahami materi. Ketakutan gagal, tidak diterima di sekolah favorit, atau tidak memenuhi standar tertentu, masih menjadi bayang-bayang yang menghantui.

Tekanan Sosial dan Ekspektasi Lingkungan

Sekolah bukan hanya soal akademik. Interaksi sosial di lingkungan sekolah juga menjadi sumber stres. Tekanan dari teman sebaya, takut dikucilkan, atau tidak diterima dalam kelompok tertentu dapat membuat siswa merasa cemas. Selain itu, ekspektasi orang tua yang tinggi terhadap prestasi anak juga tidak kalah besar memberikan tekanan.

Dalam banyak kasus, siswa bukan hanya takut gagal ujian, tapi juga takut mengecewakan keluarga atau kehilangan dukungan dari lingkungan sosialnya. Ini adalah bagian dari tekanan yang sulit diukur dengan nilai ujian, namun sangat berpengaruh pada pengalaman sekolah.

Peran Guru dan Kurikulum dalam Membentuk Rasa Takut

Cara pengajaran guru juga berperan penting dalam membentuk rasa takut atau nyaman di sekolah. Guru yang masih menerapkan metode mengajar yang kaku dan hanya menekankan disiplin tanpa empati bisa membuat siswa merasa tertekan. Sebaliknya, guru yang mampu memahami kebutuhan siswa dan mendorong kreativitas membantu menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan.

Kurikulum yang terlalu padat dan menuntut penguasaan banyak materi dalam waktu singkat juga dapat membuat siswa kewalahan. Kurikulum yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kemampuan dan minat siswa berpotensi menimbulkan rasa takut akan kegagalan.

Apa yang Masih Membuat Sekolah Menjadi Tempat yang Menakutkan?

Setelah penghapusan Ujian Nasional, ketakutan terhadap sekolah tidak sepenuhnya hilang karena ketakutan itu sudah melekat pada sistem pendidikan secara menyeluruh. Hal-hal seperti tekanan nilai, persaingan, budaya takut salah, ekspektasi sosial, dan metode pengajaran yang belum selalu ramah siswa masih menjadi faktor utama.

Selain itu, perubahan besar seperti penghapusan UN membutuhkan adaptasi yang tidak cepat. Guru, siswa, dan orang tua harus menyesuaikan diri dengan cara penilaian dan pembelajaran baru, yang juga bisa menimbulkan kecemasan tersendiri.

Kesimpulan

Penghapusan Ujian Nasional memang menghapus satu sumber tekanan besar bagi siswa, tapi bukan berarti seluruh ketakutan di sekolah ikut hilang. Ketakutan yang tersisa lebih banyak berkaitan dengan sistem pendidikan yang masih menuntut prestasi angka, budaya kompetisi, serta tekanan sosial dan ekspektasi lingkungan sekitar. Agar pengalaman sekolah benar-benar berubah menjadi lebih baik, perhatian harus diberikan pada bagaimana proses belajar mengajar dijalankan, bagaimana lingkungan sekolah dibentuk, serta bagaimana siswa didukung secara emosional dan sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *